SIN-NAGA Art. & Design
Selasa, 24 Februari 2015
Senin, 07 Oktober 2013
BIOGRAFI AZCKA AJI
NAMA PANGGILAN : AZCKA AJI / SINICHI NAGASAKI
TTL : PEKALONGAN, 23 NOVEMBER 1988
ALAMAT : DESA DELEGTUKANG, KECAMATAN WIRADESA, KAB. PEKALONGAN.
HOBI : DESAIN GRAFIS, OLAH RAGA SEPAKBOLA & JOGGING
MAKANAN FAVORIT : ROTI, NASI GORENG & MIE AYAM
MAKANAN FAVORIT : ROTI, NASI GORENG & MIE AYAM
ZODIAK : SAGITARIUS
KATA FAVORIT : TETAPLAH PANDANG KEDEPAN & MELANGKAH DENGAN KEYAKINAN " BERJUANG "
Selasa, 28 Mei 2013
Biografi Syeikh Hisyam Al Kabbani
Profil Singkat Mawlana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani qs
Shaykh
Muhammad Hisham Kabbani qs adalah seorang Ulama Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dan seorang Syaikh Sufi dari Timur Tengah dengan wawasan dan
pengalaman yang sangat luas, serta memiliki pengaruh dakwah yang
signifikan baik di tempat asalnya Beirut, maupun di Amerika, Eropa,
Asia, Australia dan Afrika dan Dunia Internasional.
Beliau
adalah keturunan Nabi Muhammad SAW baik dari jalur Ayah maupun Ibunya
(Hasani, Husayni). Beliau menguasai tujuh bahasa secara aktif, antara
lain bahasa Arab, Turky, Perancis, Inggris, Belanda, German dan bahasa
Urdu. Saat ini beliau menjabat sebagai Presiden Islamic Supreme Council
of America dan Chairman As Sunah Foundation of America.
Banyak
Presiden, Raja, Ulama Dunia diberbagai benua yang menjadi murid beliau.
Beliau dikenal sebagai guru dari Para Wali dan Ulama. Beliau merupakan
Master Sufi yang paling berpengaruh didunia saat ini , dengan jutaan
murid tersebar dilima benua. Selain itu beliau juga Master Kimia dari
American University of Beirut, Dokter Specialis (MD) lulusan University
of Louvain, Belgia dan Master Syari'ah dari Al-Azhar University.
Dalam
bidang Tasawwuf, Ilmu Tafsir Qur'an, dan Ma'rifah beliau dibimbing oleh
Grand Shaykh Abdullah Faiz Ad-Daghestani qs dan Sulthanul Awliya Shaykh
Muhammad Nazim Adil Haqqani qs selama kurang lebih empat puluh tahun
dalam latihan spiritual yang sulit, sehingga memberinya Kualitas
Kebijaksanaan, Cahaya Spiritual dan Perasaan yang Mulia dan Tulus, yang
penting bagi seorang Master Sejati dijalan Sufi.
Tugasnya
merupakan kontribusi yang unik bagi ikhtiar kemanusiaan dimana jutaan
mualaf, pendeta, rabbi yahudi masuk islam, yang merupakan warisan
terbesarnya didunia barat. Beliau berkhalwat dengan waktu empat puluh
hari hingga enam bulan di Madinah, Yaman dan Damaskus dan diberbagai
tempat lainnya.
Profil Mawlana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani ar-Rabbani qs
A`udzu billahi min ash-shaytaan ir-rajiim, Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahiim
Shaykh
Muhammad Hisham Kabbani qs adalah seorang Ulama Ahlus sunnah wal
jama'ah dan seorang Syaikh Sufi dari Timur Tengah dengan wawasan dan
pengalaman luas, serta memiliki pengaruh dakwah yang signifikan baik di
tempat asalnya Beirut, maupun di Amerika, Eropa, Asia, Afrika dan Dunia
Internasional. Beliau adalah keturunan Nabi Muhammad SAW baik dari jalur
Ayah ataupun Ibunya.
Sejak
kecil, beliau menemani Shaykh 'Abdullah ad-Daghestani qs dan Shaykh
Muhammad Nazim al-Haqqani qs. Shaykh Abdullah adalah grandshaikhs dari
Naqshbandi Order Yang Termasyhur di saat itu. Beliau melakukan
perjalanan panjang melalui Timur Tengah, Eropa dan Timur Jauh,
bersama-sama Shaykhnya.
Latar
belakang pendidikan beliau, diawali dengan bidang Kimia di American
University of Beirut, selanjutnya melanjutkan studi dalam bidang
Kedokteran Specialis anak di University of Louvain, Belgia, semua
diselesaikan dalam waktu yang singkat. Sehingga beliau sempat
menyelesaikan gelar pula dalam bidang Syari'ah Islam dari Al-Azhar
University, Damascus, Syria hingga ke tingkat Masterate.
Dalam
bidang Tasawwuf, Ilmu Tafsir Qur'an, dan Ma'rifah beliau dibimbing oleh
Grand Shaykh Abdullah Faiz Ad-Daghestani qs (alm) dan Shaykh Muhammad
Nazim Adil Haqqani qs selama kurang lebih empat puluh tahun, semenjak
beliau berusia sepuluh tahun, dan hingga kini, beliau mendapat
bimbingan dari Guru beliau Mawlana Syaikh Nazim qs.
Beliau
menguasai beberapa bahasa secara aktif, antara lain bahasa Arab, Turky,
Perancis, Inggris, Belanda, dan bahasa Urdu. Beliau sempat cukup lama
tinggal di Arab Saudi sebagai Manajer dan Dokter Specialis pada beberapa
rumah sakit di Jeddah dan Madinah ; bersamaan dengan hal tersebut
beliau banyak belajar dari para Imam dan Mursyid Thariqah baik di
Madinah maupun di Makkah. Atas perintah Shaykh Muhammad Nazim Adil
Haqqani qs beliau telah menyelesaikan beberapa khalwat (mengasingkan
diri dengan meditasi) bervariasi dengan waktu empat puluh hari hingga
enam bulan. Diantaranya dilakukan di Madinah dekat Masjid Nabi Muhammad
saw, di Damaskus, Yaman dan Jordania.
Pada
tahun 1991, beliau diperintahkan oleh shayknya Mawlana Muhammad Nazim
Haqqani qs untuk pindah dan memulai dakwah di benua Amerika dan
membangun landasan bagi Naqshbandi Sufi Order disana. Pada saat itu
beliau memulai langkah awalnya di California dengan tujuan untuk
menyebarluaskan ajaran Islam sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad saw
dan para sahabat, dengan ajaran tasawuf sufi yang penuh kelembutan dan
ketinggian ahlak.
Beliau
telah mendirikan ratusan pusat Sufi centers di Canada dan di Amerika.
Shaykh Hisham Kabbani aktif memberikan ceramah, dan hadir di berbagai
konferensi diseluruh dunia, dalam usaha perjalanan dakwah beliau selama
ini. Beliau memberikan ceramah, diskusi ilmiah Islam atau dialog
interfaith, di berbagai universitas, termasuk University of Chicago,
UCLA, Columbia University, Berkeley, Mc Gill, Concordia, Dawson
College, University of Stanford, Harvard, University of Toronto, Howard
University, University of Montreal, SUNY, UC San Diego maupun di
berbagai pusat-pusat spiritual dan keagamaan di seluruh Amerika Utara,
Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah.
Mawlana
Syaikh Muhammad Hisham Kabbani ar-Rabbani q.s. membimbing dan membawa
bangsa Barat, bangsa Maghribi, atau bangsa Rum (Bani Ishaq) masuk
kedalam Islam dan ratusan ribu non muslim mengenal keindahan islam
melalui tasawuf dan akhirnya mereka memasuki islam yang penuh kedamaian
dan keindahan.
“Tak
seorang pun Wali lainnya yang diberikan otoritas untuk menjumpai
President, Raja, Pemimpin Negara Barat, dan rakyat mereka, untuk membawa
mereka menuju Islam. Hanya Shaykh Hisham Kabbani ar-Rabbani qs yang
diberikan izin.
Dan inilah karamah beliau yang paling utama”.
Sejak
saat itu pula beliau ditasbihkan sebagai Khalifah Shaykh Nazim Adil
Haqqani An-Naqshbandi qs di benua Amerika. Alhamdulillah, hingga saat
ini ratusan ribu, bahkan jutaan non muslim di Amerika dan sekitarnya
telah masuk islam, disyahadatkan oleh beliau, dibimbing melaksanakan
Rukun Islam dan dalam ilmu spiritual tasawuf (Iman & Ikhsan) menjadi
para pejalan sufi Thariqah Naqshbandi al-Haqqani.
Sampai
tahun 2008 telah banyak pusat-pusat Suluk ( Pusat Sufi) / Zawiyyah
(Retreat Centers) didirikan di Amerika, misalnya di California (L.A, San
Fransisco, San Jose, Hollywood, Beverly Hills, Los Altos, Oakland),
Toronto, New York, Michigan, dan Washington, D.C. Pusat-pusat Sufi,
Pusat Dakwah, Masjid, dan Zawiyyah juga didirikan diberbagai negara
dilima benua, terutama di Eropa yang berkembang sangat cepat dengan
pusatnya di London, UK.
Beliau
berkeliling keseluruh dunia sepanjang tahun, untuk menyebarkan tasawuf,
toleransi, kelembutan Islam dan anti kekerasan dan extremisme. Tugas
Shaykh Hisham Kabbani's di Amerika adalah menyebarkan ajaran Sufi
tentang persaudaraan dan kemanusiaan serta Kesatuan kepercayaan akan
Tuhan yang sebenarnya ada dalam semua jenis agama dan jalan spiritual.
Usaha
beliau ditujukan untuk membangkitkan spektrum dari berbagai jenis agama
dan jalan spiritual ke suatu harmoni dan kedamaian, bagi penyadaran
akan tanggungjawab manusia sebagai pemelihara planet yang rapuh dan
pemelihara sesama manusia.
Shaykh
Hisham, sebagai seorang shaykh Sufi, beliau telah diberi kewenangan dan
ijin untuk membawa pengikutnya pada Cinta Ilahi dan ke tempat dimana
mereka telah ditentukan oleh Penciptanya. Latihan spiritual yang sulit
selama lebih dari 40 tahun di tangan grandshaykh dan shaykhnya, telah
memberinya kualitas-kualitas kebijaksanaan, cahaya, intektualitas dan
perasaan yang mahamulia atau luhur, yang penting bagi seorang Master
sejati di Jalan ini.
Tugas
Shaykh Hisham di Amerika merupakan kontribusi unik bagi Ikhtiar
Kemanusiaan untuk meraih kedekatan yang bertujuan tertinggi dengan
Tuhan. Ikhtiar untuk mempersatukan hati dalam pergerakan kearah Zat
Ilahiah akan menjadi warisan terhebatnya bagi dunia Barat.
Beberapa posisi yang beliau duduki saat ini di Amerika antara lain :
1. President Islamic Supreme Council of America
2. President, The Muslim Magazine
3. Chairman, As Sunnah Foundation of America
4. Unity One, sebuah organisasi ditujukan untuk perdamaian antar
Gank di Amerika, Advisor
5. Human Rights Council, USA, Advisor
6. American Islamic Association of Mental Health Providers,
Advisor 7. Office of Religious Persecution, U.S Department of State, Advisor 8. Co-Chair, Council of Muslim Leadership
9 . U.S. Leader, Naqshbandi Haqqani Sufi Order
10. Chairman, Kamilat Muslim Womens Organization
Beberapa
publikasi dan buku-buku beliau sangat luas dikenal dan beredar dengan
berbagai bahas Utama Dunia, secara Internasional termasuk juga dalam
Bahasa Indonesia, antara lain :
1. Naqshbandi Sufi Way - The Story of The Golden Chain
2. Angles Unveiled ( Dialod dengan Malaikat )
3. Pearls & Coral, Volume I & II
4. Encyclopedia of Islamic Doctrine and Beliefs
5. The Permissibility of Mawlid
6. 'Salafi' Unveiled (Tasawuf & Ihsan, Energy Dzikir dll 7 Volume)
7. Approaching to Armageddon ( Kiamat Mendekat )
8. Liberating The Soul
9. The Footstep of Saints, Dan ratusan buku lainnya dalam berbagai
bahasa.
Beberapa Prestasi Besar Syaikh Hisham Kabbani
Di Amerika Serikat dan Kanada :
1. Founder, lebih dari 35 pusat studi Islam di Amerika dan Kanada.
2. Founder, Pusat Penyembuhan Islami pada suatu peternakan Seluas 200-Acre di Michigan.
3.
Founder, Islamic Supreme Council of America (ISCA), suatu
organisasi pendidikan untuk penyebaran materi informative tentang
Islam dan pengenalan Islam dari sudut pandang kesarjanaan yang
otentik tentang permasalahan dunia.
4.
Mendirikan cabang Haqqani Educational Foundation-Amerika, untuk
mengenalkan ajaran fundamental Islam, termasuk toleransi, saling
menghargai dan kedamaian.
5. Sebagai Penasehat dan pembicara pada Northern California Interfaith Conference, San Francisco.
6.
Mendirikan As-Sunna Foundation of America untuk mengembangkan,
menerbitkan dan mengorganisir konferensi untuk pendidikan Islam
Tradisional / Klasik.
7.
Ketua, American Muslim Assistance Relief Organization, yang giat
membantu fakir miskin, yatim piatu dan pengungsi di Amerika dan
diseluruh dunia
8.
Founder, ‘Muslim Magazine’, yang merupakan majalah berita Islami
berbahasa Inggris terlaris, dengan pendekatan yang sangat moderen.
9. Founder, Kamilat, suatu Organisasi Perempuan Muslim Internasional.
10. Co-Founder Alliance for Islamic Culture and Arts.
11.
Founder berbagai websites terlaris diseluruh dunia, antara lain :
muslimmag.org, wads.com, camall.com, sunnah.org, kamilat.org,
unityone.org, naqshbandi.org islamicsupremecouncil.org, naqshbandi.net,
alhaq.com, amahelp.com
Prestasi di Eropa, Timur Jauh dan Timur Tengah
- Kerjasama erat dengan pemerintahan dan rakyat Uzbekistan untuk menegakkan praktek-praktek Islam tradisionil dan mencegah bertambahnya orang-orang radikal di daerah.
- Co-founder Haqqani Worldwide Educational Foundation sebagai pusat pengajaran Syariah Islam dan spiritualitas di London, England, dengan 800 murid per tahun (tinggal di dalam) dan lebih dari 2,000 murid per tahun (menghadiri seminar, lokakarya dan pesantren pembelajaran esensi Islam).
- Pembicara dan Penasehat, Inter-Religious Organization, Singapore.
- Beraktivitas pada tingkat politik tertinggi untuk mendukung bantuan di Bosnia, Kosova, Afghanistan, Iraq, Lebanon, dan Somalia.
- Berperan dalam inisiatif perdamaian di Timur Tengah, Bosnia, Kashmir, Afghanistan dan Kosova.
- Membantu pembebasan tahanan politik dan tahanan lain di seluruh dunia.
- Kerjasama dengan organisasi internasional untuk menetapkan Hari Internasional Yatim Piatu secara global untuk mengingat kesedihan yatim piatu, anak angkat dan korban kekerasan anak.
- Ketua International Islamic Unity Conference yang sukses, dimana konferensi keduannya terselenggara di Washington, DC dari Agustus 7-9, 1998.
- Co-developer dan mantan General Manager untuk the Islamic Jeddah Medical Center di Saudi Arabia.
- Diundang oleh Maharishi Mahesh Yogi untuk menghadiri pembukaan klinik penyembuhan pertamanya pada bulan Oktober 1998.
- Bertemu Devi Gowda, mantan PM India, dan C.M. Ibrahim (saat itu Menteri Penerbangan, India) ketika mereka menjadi tamu pada konferensi tahunan ke 7 dari IMRC di San Jose, 1997.
Rabu, 24 April 2013
Biografi KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi Dahlan & KH. Mahruz Aly
Bografi KH. ABDUL KARIM, KH. MARZUQY DAHLAN, KH. MAHRUZ ALY
( Pengasuh PP. LIRBOYO Kediri )
KH. ABDUL KARIM
Beliau dilahirkan pada tahun 1856, di sebuah desa terpencil bernama Diyangan Kawedanan Mertoyudan Magelang Jawa Tengah. Nama kecil beliau adalah Manab, beliau putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Pada saat Manab kecil berusia 14 tahun, mulailah beliau melakukan pencarian ilmu agama, daerah pertama yang beliau tuju adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas beliau meneruskan pengembaraannya di daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, beliau menuntut ilmu kurang lebih selama 6 Tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran, beberapa tahun kemudian beliau teruskan pengembaraannya dalam tholabul ilmi di Pesantren Sono sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorofnya, tujuh tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. periodenya selanjutnya beliau meneruskan nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro Sepanjang Surabaya, hingga akhirnya beliau meneruskan pengembaraan ilmunya di salah satu pesantren besar di pulau Madura yang diasuh oleh seorang Ulama’ Kharismatik bernama, Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu dimadura yakni sekitar 23 tahun, begitu lamanya beliau menuntut ilmu sehingga menjadikan kemampuan beliau menjadi sangat terasah dan mumpuni.
Pada saat berusia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian ilmunya di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada suatu ketika KH. Hasyim asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai Sholeh dari Banjarmlati Kediri, akhirnya pada tahun1328 H/ 1908 M, KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh, dua tahun kemudian KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ketempat baru, disebuah desa terpencil yang bernama Lirboyo tepatnya pada tahun 1910 M, disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo. Kemudian pada tahun 1913, KH. Abdul karim mendirikan sebuah Masjid ditengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa taalum bagi santri. Secara garis besar Pribadi KH. Abdul karim adalah sosok yang sangat sederhana dan bersahaja, beliau gemar melakukan Riyadlah mengolah jiwa atau Tirakat, sehingga hari-hari beliau hanyalah berisi pengajian dan tirakat saja. Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya setelah beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920-an, kondisi kesehatan beliau sebenarnya sudah tidak memungkinkan, namun karena keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.
Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala beliau menderita sakit, beliau masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Mendung kedukaan menggelayut menaungi Lirboyo, Kepada Allah lah, sejatinya semua mahluk akan kembali, pada tahun 1954, tepatnya hari senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH. Abdul Karim berpulang kerahmatullah, beliau dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.
KH. MARZUQI DAHLAN
Beliau lahir pada tahun 1906, di Desa Banjarmlati sebuah desa kecil di tepi sungai brantas Kota Kediri, beliau putra bungsu dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Dibawah pengawasan langsung kakeknya KH. Sholeh Gus Zuqi kecil menerima pengajaran dasar-dasar islam seperti aqidah dan fiqh ubudiyah, tatkala menginjak usia remaja, ayahnya Kyai Dahlan meminta agar Gus Zuqi kembali ke kampung halamannya Pondok Pesantren Jampes, untuk menuntut ilmu dibawah asuhan ayah kandungnya sendiri, Gus Zuqi bersedia namun beberapa saat kemudian Gus Zuqi justru kembali ke Banjarmlati untuk menuntut ilmu disana, ketika Gus Zuqi beranjak muda, beliau pindah menuntut ilmu Di Lirboyo dibawah asuhan pamannya KH. Abdul Karim. Disinilah kemampuan berpikir Gus Zuqi semakin terasah, sehingga dalam waktu yang singkat beliau dapat memperoleh ilmu, dibawah pengawasan langsung KH. Abdul Karim. Usai menuntut ilmu di Lirboyo, Gus Zuqi meneruskan pengembaraannya di pelbagai Pondok Pesantren diantaranya Pondok Pesantren Tebu Ireng asuhan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, Pondok Pesantren Bendo Pare asuhan Kyai Khozin, cukup lama beliau mondok di Pare hingga beliau berumur 20-an tahun, selanjutnya beliau kembali ke kampung halamannya Jampes untuk belajar langsung ke kakaknya yakni KH. Ihsan Al-Jampasy, pengarang kitab Monumental Shirojut Tholibin dan sosok yang menguasai bidang Tashawuf.
Pada tahun 1936, KH. Marzuqi Dahlan menikah dengan Nyai Maryam binti KH Abdul Karim, namun meski telah menikah, semangat beliau dalam mengaji tidak pernah luntur sedikitpun, hal ini merupakan salah satu amanat yang telah disampaikan oleh KH Abdul karim pada KH. Marzuqi Dahlan sesaat usai aqad nikah berlangsung, sehingga himmah beliau untuk terus mendidik santri terus terjaga dan sangat istiqomah. Hingga pada tahun 1961 tahun Nyai Maryam berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan beliau untuk selama-lamannya. Namun untuk menghapus kedukaan yang berlarut-larut, akhirnya keluarga menikahkan KH. Marzuqi Dahlan dengan Nyai Qomariyah yang tak lain adalah adik bungsu Nyai Maryam. Sosok KH. Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja hal ini terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewan dan elegan, padahal pada saat itu beliau sudah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, hari-hari beliau hanyalah ditemani sepeda onthel usang sebagai pengantar ketika berziarah kemaqam Auila’ disekitar Kediri, bukan hanya kendaraan kediaman beliaupun terbilang sangat sederhana, yakni berdindingkan anyaman bambu, hingga pada tahun 1942 barulah keiaman beliau beganti dengan tembok.
Pada Tahun 1973 M. KH. Marzuqi Dahlan menunaikan Ibadah haji, dua tahun usai menunaikan ibadah haji, kondisi beliau mulai terganggu, hal ini bisa dimaklumi karena usia beliau yang sudah sepuh, namun meski demikian semangat beliau untuk memimipin Pesanten Lirboyo tetap terjaga, hingga pada bulan syawal pada tahun 1975, beliau jatuh sakit sehingga harus dirawat di RS. Bayangkara kediri hingga 2 minggu lamanya beliau harus dirawat. Karena tidak ada perubahan yang menggembirakan, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pulang KH. Marzuqi Dahlan ke kediaman beliau, hingga pada hari Senin Tanggal 18 Nopember 1975 beliau dipanggil sang pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintainya.
KH. MAHRUS ALY
Beliau lahir pada tahun 1906 di dusun Gedongan kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon Jawa Barat, ayah beliau KH Aly bin Abdul Aziz dan ibu beliau Hasinah binti Kyai Sa’id, KH. Mahrus Aly adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi, masa kecil beliau lebih banyak dijalani di tanah kelahirannya, sifat kepemimpinan beliau sudah nampak pada saat masih kecil, hingga beranjak remaja, sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarganya, disinilah beliau diasuh oleh ayahnya sendiri KH Aly dan kakak Kandungnya Kyai Afifi. Pada saat beliau berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmunya di Pesantren Panggung Tegal, asuhan Kyai Mukhlas Kakak iparnya sendiri, disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni, selain itu KH. Mahrus Aly juga belajar silat pada Kyai Balya seorang jawara pencak silat asal Tegal Gubug Cirebon. Pada saat monok di tegal inilah KH. Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927, selanjutnya KH. Mahrus Aly meneruskan pencarian ilmunya di Pesantren Kasingan Rembang Jawa Tengah yang diasuh KH. Kholil, setelah 5 tahun menuntut ilmu dipesantren ini atau sekitar tahun 1936 KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni sehingga KH. Mahrus Aly tinggal mempedalam dan tabaruqan saja, bahkan beliau diangkat menjadi Pengurus Pondok. Selama nyantri di Lirboyo beliau dikenal sebagai satri yang tak pernah letih mengaji, jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk tabaruqan dan mengaji di Pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. PP. Watu congol muntilan Magelang, asuhan Kyai Dalhar. Juga pondok pesantren Langitan tuban, Sarang dan Lasem Rembang.
Sebenarnya KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidaklah lama, hanya sekitar tiga tahun saja, namun karena kealimannya membuat KH. Abdul Karim menjadi jatuh hati, dan menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab. Tepatnya pada tahun 1938. kemudian pada tahun 1944 KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman disebelah timur Komplek Pondok. Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, ditangan mereka berdualah kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo, banyak santri yang berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti), peran serta KH. Mahrus Aly dalam usaha membangkitkan kemerdekaan juga tidak bisa diremehkan, hal ini disebabkan peran beliau dalam mengirimkan 97 santri pilihan dari pondok pesantren Lirboyo untuk menumpas sekutu di Surabaya, yang belakangan ini dikenal dengan peristiwa 10 November, hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di daerah kediri dan juga mempunyai andil yang besar dalam perkembangan Jamiyyah Nahdlotul Ulama’, bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah Jawa trimur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU pada tahun 1985
Duka menggelayut Pondok Pesantren Lirboyo tepatnya pada hari senin tanggal 04 Maret 1985, sang istri tercinta Ibu Nyai Hj. Zaenab berpulang kerahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama nyai derita. Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam kedukaan, hingga banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya. Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 mei 1985 kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri akhirnya beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya dengan menggunakan Helikopter atas perintah Pangab LB. Moerdani, manusia berusaha namun Allah Jualah yang menentukan, meskipun pelbagai upaya medis paling canggih sekalipun telah diupayakan oleh tim dokter yang terbaik di RS Dr. Soetomo surabaya, akhirnya KH. Mahrus Aly berpulang kerahmatullah, tepatnya pada Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985, tepat delapan hari setelah beliau dirawat di surabaya. Berita meninggalnya KH. Mahrus Aly membuat duka yang sangat mendalam bagi keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo, karena mereka semua telah kehilangan panutan yang selama ini mereka idolakan dan mereka bangga-bangakan. Beliau wafat diusia 78 tahun.
KH.MAHRUS ALY (LIRBOYO - KEDIRI)
KH.MAHRUS ALY ( Ulama Ahli hadist dan Pejuang )
Pondok
Pesantren lirboyo Kediri Jawa Timur
Kh.Mahrus Aly
Salah seorang Tokoh Ulama penerus Pondok Pesantren Lirboyo adalah
Kh.Mahrus Aly, putra dari seorang Ulama bernama Kh Aly. Lahir di Cirebon tahun
1906 , ibunya bernama Nyai Chasinah . Sejak kecil Kh Mahrus Aly hidup dalam
lingkungan pesantren dan Beliau gemar menuntut ilmu terutama Ilmu Hadist dan
Ilmu Nahwu shorof. Usia remaja Kh Mahrus telah hapal 1000 Bait Nadzhom Kitab
Alfiyah Ibnu malik dan pernah juga melakukan debat Nahwu shorof dengan seorang
Habib dari Yaman Hadro maut. Suatu ketika Kakaknya yang bernama Kh.ahmad Afifi
mengadakan lomba hapalan dan pemahaman kitab Alfiyah , namun Kh Mahrus kalah dan
merasa malu dengan keluarganya, hingga akhirnya Kh mahrus pergi meninggalkan
rumah tanpa minta Izin kepada keluarganya, dan tentu saja membuat sedih sang
ibundanya Nyai Chasinah. Maka sepanjang hari ibunya bermunajat kepada Allah
agar anaknya Kh.mahrus Aly yang meninggalkan rumah dan keluarganya di jadikan
ulama yang alim .
Kh.Mahrus Aly menimba ilmu Pada Kh.Cholil pengasuh pondok pesantren
kasingan , begitu memasuki gerbang pondok , Kh.Mahrus Aly di sambut oleh para
santri yang telah berbaris , bercampur heran Kh.Mahrus tetap melangkah memasuki
pondok , belakangan diketahui bahwa telah tersyiar kabar bahwa dipondok
Kasingan akan kedatangan seorang Ahli hadis bernama Mahrus Aly. Sambutan yang
luar biasa dari para santri tidak membuat dirinya besar kepala , beliau
disamping menimba ilmu kepada Kyai juga mengajar para Santri maka tak
heran bila Kh.Mahrus diangkat menjadi “Lurah Pondok” . Hampir lima tahun
menimba ilmu di Pondok Kasingan kemudian Kh.Mahrus Aly minta Izin kepada
gurunya untuk pulang kerumahnya . Ketika sampai dirumahnya di Gedongan
Kh.Mahrus Aly lagi lagi mendapat sambutan dari para santri dan keluarganya
dengan penuh penghormatan . Mereka para santri kagum akan kecerdasan Kh Mahrus
Aly dalam memahami Kitab Alfiyah . Rupanya Allah memberikan Futuh (Pembuka hati
& Ilmu ) berkat doa Munajat dan riyadhoh sang Ibu kepada dirinya.
Tak puas dengan bekal ilmu yang dimiliki, Kh Mahrus aly meminta
izin kepada ibunya untuk menimba Imu di Pesantren Lirboyo, Tahun 1936 Kh Mahrus
Aly belajar di Lirboyo di bawah asuhan Kh.Abdul karim . Melihat kecerdasan yang
dimiliki Kh Mahrus Aly membuat gurunya terkagum kagum dan jatuh hati pada
Kh.Mahrus Aly, maka sang Guru meminta kepada Kh Mahrus Aly untuk mau menjadi
mantunya. Maka tahun 1938 Kh.Mahrus Aly menikah dengan putri gurunya bernama
zainab. Kh Mahrus aly sangat mencintai ilmu maka tak heran Beliau selalu
berpindah pindah dari pesantren yang satu kepesantren yang lain , hal ini
beliau lakukan sekedar bertabarruk kepada para ulama seperti ke Pondok
pesantren tebuireng (Kh.Hasyim asyari), Pondok-Pesantren Watu congol
muntilan Magelang(Kh Dalhar) pondok pesantren Langitan tuban dll.
Kh.Mahrus Aly juga dikenal sebagai Ulama pejuang , beliau pernah
memimpin para santri Lirboyo untuk Berjihad melawan tentara sekutu di Surabaya.
H. Mahfudzseorang Komandan Peta (pembela tanah air ) yang mula-mula
menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH.
Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri lirboyo dalam pertemuan
diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri lirboyo diajak
melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini
dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .
Tepat pada jam 22.00 berangkatlah para santri Lirboyo sebanyak 440
menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Aly dan Mayor H
Mahfudz. Sebelum penyerbuan dimulai, seorang santri yang bernama Syafi’I
Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam markas
Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan
menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i
segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor H Mahfudz. Saat-saat menegangkan
itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz
menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah
diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam penyerbuan itu , gema Takbir
“Allohuakbar ” berkumandang menambah semangat juang para Santri , aroma Surga
dan Mati syahid telah mereka rindukan, pada akhirnya penyerbuan itu
sukses dengan gemilang.
Selang beberapa lama, Mayor H.Mahfud melapor kemabli kepada Kh .Mahrus
Aly di Lirboyo bahwa Tentara sekutu yang memboncengi Belanda telah merampas
kemerdekaan dan Surabaya banjir darah pejuangan . Maka Kh.Mahrus
Aly mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik
darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Aly mengintruksikan kepada santri
lirboyo untuk berjihad kemabli mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Maka
dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya untuk bergabung
dengan Muhahid lainya. Dengan gagah Kh Mahrus Aly berangkat bersama dengan para
santri santri Lirboyo untuk berjuang merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Hari
senin KH. Mahrus Aly berpulang kerahmatullah, Tanggal 06 Ramadlan 1405 H atau
26 Mei 1985, tepat delapan hari setelah beliau dirawat di rumah sakit di
surabaya. Linangan air mata dari para santri Lirboyo melepas kepergian
sang Kyia.
SEJARAH MBAH KHOLIL BANGKALAN
SEJARAH SINGKAT BIOGRAFI KH. MUHAMMAD KHOLIL BANGKALAN
Hari Selasa, 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H atau 1820 M. ‘Abd
Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan,Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan
kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir
seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Khalil.
Kiai ‘Abd. Al-Latif
sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin ummat,
sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan
meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah
agar Dia mengabulkan permohonannya.
K.H. Khalil berasal
dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai pertalian darah
dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai
‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin
Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman
adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif
mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang
dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia
dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa,
kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan
ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu)
sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh
dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren
untuk menimba ilmu.
BELAJAR ke PESANTREN
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun
1850–an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan
Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.
Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan.
Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar
kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak
antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk
mendapatkan ilmu, Khalil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan
jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke
Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga
ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
Sebenarnya, bisa saja Kholil
tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan
yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Kholil
sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup
berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai
petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil pertaniannya itu (padi,
palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif
cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.
Akan tetapi, Khalil
tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya.
Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Khalil tinggal di Keboncandi agar
bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik inulah Khalil
memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kemandirian Khalil juga nampak
ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu,
belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya
kali ini, lagi-lagi Khalil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya,
apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah
Khalil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke
sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal
mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di
Banyuwangi ini, Khalil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya.
Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya
tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Khalil menyiasatinya dengan mengisi
bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru
masak teman-temannya, dari situlah Khalil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859
M., saat usianya mencapai 24 tahun, Khalil memutuskan untuk pergi ke
Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Khalil menikah dahulu dengan Nyai Asyik,
anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah,
berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya
bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan
untuk makan selama pelayaran, konon, Khalil berpuasa. Hal tersebut
dilakukan Khalil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Sebagai pemuda Jawa
(sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya,
Khalil belajar pada para syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjid
Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di
sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji
kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.
Kebiasaan hidup
prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di Mekkah,
Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih
layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman
seangkatan Khalil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak
habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Padahal, sepengetahuan teman-temannya,
Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal
pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah,
terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga
memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi). Meskipun bisa mencari
uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan
kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian)
dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak
ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil dikenal sebagai
seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai
salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga
dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Khalil
dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1
Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari,
banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti
Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha;
pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Kiai Khalil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah
Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun
kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1
Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru
ini, Kiai Khalil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah
sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang
dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Kiai
Khalil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf ),
ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum
terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Khalil lebih dikenal.
GEO SOSIOLOGI POLITIK
Pada masa hidup Kiai
Khalil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah
Madura. Kiai Khalil sendiri dikenal luas sebagai ahli Tarekat; meski pun tidak
ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Kiai Khalil belajar Tarekat. Tapi,
menurut sumber dari Martin Van Bruinessen(1992), diyakini terdapat sebuah
silsilah bahwa Kiai Khalil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan (salah
satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah), tetapi, Martin masih ragu, apakah
Kiai Khalil penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Kiai
Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan
caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya
dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Khalil mempersiapkan
murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan
mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan
banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu
di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai
Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih
banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak
segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada
pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat
persembunyian.
Ketika pihak penjajah
mengetahuinya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang
menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Khalil, malah membuat pusing pihak
Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti
tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh
supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari
selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan
kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya.
Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai
Khalil untuk di bebaskan saja.
KIPRAHNYA dalam
PEMBENTUKAN NU
Peran Kiai Khalil
dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini
didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi
tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu
digarisbawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh
tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas kembali
ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di
Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret
pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada
waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para
ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik
mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan
politik.
Pada perkembangannya kemudian,
peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang
lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam
berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk
mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada
persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak
terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada
saat itu.
Namun, Kiai Hasyim,
awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan,
Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun
petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Kiai
Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati
kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang
masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai Hasyim
sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Khalil
sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil
menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim
ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa, Qala hiya ‘ashaya
atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya fiha ma’aribu
ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala Khudzha
wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila janahika takhruj
baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil kubra.” Pesan
Kiai Khalil.
As’ad segera pergi ke
Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren
yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai
Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.
“Kiai, saya diutus
Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda
berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai
Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus
kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.
“Ada Kiai,” jawab
As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.
Mendengar ayat yang
dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai
Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak
keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu,
keinginan untuk mendirikanJam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti hari,
bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu
tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kiai, saya diutus
oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad.
“Kiai juga diminta
untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,”
tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan
gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk
mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil
meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa
terwujud.
Baru setahun kemudian,
tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan
diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi
itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kiai
Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong
tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu
diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah
satu Wali Allah.
TAREKAT & FIQH
Kiai Kholil adalah
salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di
antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu
Fiqh.
Pada masa kehidupan
Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya
Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada
awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang
terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah
wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah
dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti
bahwa Kiai Khalil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal
tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para
pejuang.
Di sisi lain, Kiai
Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh,
yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan
seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene
seangkatan dengan Kiai Khalil.
Memang, Kiai Khalil
hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga
kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu
kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian,
perbedaan antara Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa
Kiai Khalil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan
syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Khalil justru meletakkan dan
menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil
menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai
batasan-batasan tersendiriyaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak
menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah,
tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola
dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.
PENINGGALAN
Dalam bidang karya,
memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai
Khalil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam
literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Khalil diantaranya:
Pertama, Kiai Khalil
turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai
pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat
penjajahanBelanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun
hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di
sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa,
dan terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus,
mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren
Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali
Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri
Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil, banyak murid-murid yang
dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain
Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan
kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi
pemimpin-pemimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil,
adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di
Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad
(sambungan) dengan para murid Kiai Khalil, yang tentu saja memiliki
kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada 1825 (29 Ramadhan 1343 H)
dalam usia yang sangat lanjut, 108 tahun.
Langganan:
Postingan (Atom)