Rabu, 24 April 2013

Biografi KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi Dahlan & KH. Mahruz Aly



Bografi KH. ABDUL KARIM, KH. MARZUQY DAHLAN, KH. MAHRUZ ALY
( Pengasuh PP. LIRBOYO Kediri )

KH. ABDUL KARIM

Beliau dilahirkan pada tahun 1856, di sebuah desa terpencil bernama Diyangan Kawedanan Mertoyudan Magelang Jawa Tengah. Nama kecil beliau adalah Manab, beliau putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Pada saat Manab kecil berusia 14 tahun, mulailah beliau melakukan pencarian ilmu agama, daerah pertama yang beliau tuju adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas beliau meneruskan pengembaraannya di daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, beliau menuntut ilmu kurang lebih selama 6 Tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran, beberapa tahun kemudian beliau teruskan pengembaraannya dalam tholabul ilmi di Pesantren Sono sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorofnya, tujuh tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. periodenya selanjutnya beliau meneruskan nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro Sepanjang Surabaya, hingga akhirnya beliau meneruskan pengembaraan ilmunya di salah satu pesantren besar di pulau Madura yang diasuh oleh seorang Ulama’ Kharismatik bernama, Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu dimadura yakni sekitar 23 tahun, begitu lamanya beliau menuntut ilmu sehingga menjadikan kemampuan beliau menjadi sangat terasah dan mumpuni.


Pada saat berusia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian ilmunya di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada suatu ketika KH. Hasyim asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai Sholeh dari Banjarmlati Kediri, akhirnya pada tahun1328 H/ 1908 M, KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh, dua tahun kemudian KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ketempat baru, disebuah desa terpencil yang bernama Lirboyo tepatnya pada tahun 1910 M, disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo. Kemudian pada tahun 1913, KH. Abdul karim mendirikan sebuah Masjid ditengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa taalum bagi santri. Secara garis besar Pribadi KH. Abdul karim adalah sosok yang sangat sederhana dan bersahaja, beliau gemar melakukan Riyadlah mengolah jiwa atau Tirakat, sehingga hari-hari beliau hanyalah berisi pengajian dan tirakat saja. Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya setelah beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920-an, kondisi kesehatan beliau sebenarnya sudah tidak memungkinkan, namun karena keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.

Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala beliau menderita sakit, beliau masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Mendung kedukaan menggelayut menaungi Lirboyo, Kepada Allah lah, sejatinya semua mahluk akan kembali, pada tahun 1954, tepatnya hari senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH. Abdul Karim berpulang kerahmatullah, beliau dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.

KH. MARZUQI DAHLAN

Beliau lahir pada tahun 1906, di Desa Banjarmlati sebuah desa kecil di tepi sungai brantas Kota Kediri, beliau putra bungsu dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Dahlan dan Nyai Artimah. Dibawah pengawasan langsung kakeknya KH. Sholeh Gus Zuqi kecil menerima pengajaran dasar-dasar islam seperti aqidah dan fiqh ubudiyah, tatkala menginjak usia remaja, ayahnya Kyai Dahlan meminta agar Gus Zuqi kembali ke kampung halamannya Pondok Pesantren Jampes, untuk menuntut ilmu dibawah asuhan ayah kandungnya sendiri, Gus Zuqi bersedia namun beberapa saat kemudian Gus Zuqi justru kembali ke Banjarmlati untuk menuntut ilmu disana, ketika Gus Zuqi beranjak muda, beliau pindah menuntut ilmu Di Lirboyo dibawah asuhan pamannya KH. Abdul Karim. Disinilah kemampuan berpikir Gus Zuqi semakin terasah, sehingga dalam waktu yang singkat beliau dapat memperoleh ilmu, dibawah pengawasan langsung KH. Abdul Karim. Usai menuntut ilmu di Lirboyo, Gus Zuqi meneruskan pengembaraannya di pelbagai Pondok Pesantren diantaranya Pondok Pesantren Tebu Ireng asuhan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, Pondok Pesantren Bendo Pare asuhan Kyai Khozin, cukup lama beliau mondok di Pare hingga beliau berumur 20-an tahun, selanjutnya beliau kembali ke kampung halamannya Jampes untuk belajar langsung ke kakaknya yakni KH. Ihsan Al-Jampasy, pengarang kitab Monumental Shirojut Tholibin dan sosok yang menguasai bidang Tashawuf.

Pada tahun 1936, KH. Marzuqi Dahlan menikah dengan Nyai Maryam binti KH Abdul Karim, namun meski telah menikah, semangat beliau dalam mengaji tidak pernah luntur sedikitpun, hal ini merupakan salah satu amanat yang telah disampaikan oleh KH Abdul karim pada KH. Marzuqi Dahlan sesaat usai aqad nikah berlangsung, sehingga himmah beliau untuk terus mendidik santri terus terjaga dan sangat istiqomah. Hingga pada tahun 1961 tahun Nyai Maryam berpulang ke Rahmatullah, meninggalkan beliau untuk selama-lamannya. Namun untuk menghapus kedukaan yang berlarut-larut, akhirnya keluarga menikahkan KH. Marzuqi Dahlan dengan Nyai Qomariyah yang tak lain adalah adik bungsu Nyai Maryam. Sosok KH. Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja hal ini terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewan dan elegan, padahal pada saat itu beliau sudah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, hari-hari beliau hanyalah ditemani sepeda onthel usang sebagai pengantar ketika berziarah kemaqam Auila’ disekitar Kediri, bukan hanya kendaraan kediaman beliaupun terbilang sangat sederhana, yakni berdindingkan anyaman bambu, hingga pada tahun 1942 barulah keiaman beliau beganti dengan tembok.

Pada Tahun 1973 M. KH. Marzuqi Dahlan menunaikan Ibadah haji, dua tahun usai menunaikan ibadah haji, kondisi beliau mulai terganggu, hal ini bisa dimaklumi karena usia beliau yang sudah sepuh, namun meski demikian semangat beliau untuk memimipin Pesanten Lirboyo tetap terjaga, hingga pada bulan syawal pada tahun 1975, beliau jatuh sakit sehingga harus dirawat di RS. Bayangkara kediri hingga 2 minggu lamanya beliau harus dirawat. Karena tidak ada perubahan yang menggembirakan, akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pulang KH. Marzuqi Dahlan ke kediaman beliau, hingga pada hari Senin Tanggal 18 Nopember 1975 beliau dipanggil sang pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintainya.

KH. MAHRUS ALY

Beliau lahir pada tahun 1906 di dusun Gedongan kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon Jawa Barat, ayah beliau KH Aly bin Abdul Aziz dan ibu beliau Hasinah binti Kyai Sa’id, KH. Mahrus Aly adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi, masa kecil beliau lebih banyak dijalani di tanah kelahirannya, sifat kepemimpinan beliau sudah nampak pada saat masih kecil, hingga beranjak remaja, sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarganya, disinilah beliau diasuh oleh ayahnya sendiri KH Aly dan kakak Kandungnya Kyai Afifi. Pada saat beliau berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmunya di Pesantren Panggung Tegal, asuhan Kyai Mukhlas Kakak iparnya sendiri, disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni, selain itu KH. Mahrus Aly juga belajar silat pada Kyai Balya seorang jawara pencak silat asal Tegal Gubug Cirebon. Pada saat monok di tegal inilah KH. Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927, selanjutnya KH. Mahrus Aly meneruskan pencarian ilmunya di Pesantren Kasingan Rembang Jawa Tengah yang diasuh KH. Kholil, setelah 5 tahun menuntut ilmu dipesantren ini atau sekitar tahun 1936 KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni sehingga KH. Mahrus Aly tinggal mempedalam dan tabaruqan saja, bahkan beliau diangkat menjadi Pengurus Pondok. Selama nyantri di Lirboyo beliau dikenal sebagai satri yang tak pernah letih mengaji, jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk tabaruqan dan mengaji di Pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. PP. Watu congol muntilan Magelang, asuhan Kyai Dalhar. Juga pondok pesantren Langitan tuban, Sarang dan Lasem Rembang.


Sebenarnya KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidaklah lama, hanya sekitar tiga tahun saja, namun karena kealimannya membuat KH. Abdul Karim menjadi jatuh hati, dan menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab. Tepatnya pada tahun 1938. kemudian pada tahun 1944 KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman disebelah timur Komplek Pondok. Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, ditangan mereka berdualah kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo, banyak santri yang berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti), peran serta KH. Mahrus Aly dalam usaha membangkitkan kemerdekaan juga tidak bisa diremehkan, hal ini disebabkan peran beliau dalam mengirimkan 97 santri pilihan dari pondok pesantren Lirboyo untuk menumpas sekutu di Surabaya, yang belakangan ini dikenal dengan peristiwa 10 November, hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di daerah kediri dan juga mempunyai andil yang besar dalam perkembangan Jamiyyah Nahdlotul Ulama’, bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah Jawa trimur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU pada tahun 1985

Duka menggelayut Pondok Pesantren Lirboyo tepatnya pada hari senin tanggal 04 Maret 1985, sang istri tercinta Ibu Nyai Hj. Zaenab berpulang kerahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama nyai derita. Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam kedukaan, hingga banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya. Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 mei 1985 kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri akhirnya beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya dengan menggunakan Helikopter atas perintah Pangab LB. Moerdani, manusia berusaha namun Allah Jualah yang menentukan, meskipun pelbagai upaya medis paling canggih sekalipun telah diupayakan oleh tim dokter yang terbaik di RS Dr. Soetomo surabaya, akhirnya KH. Mahrus Aly berpulang kerahmatullah, tepatnya pada Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985, tepat delapan hari setelah beliau dirawat di surabaya. Berita meninggalnya KH. Mahrus Aly membuat duka yang sangat mendalam bagi keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo, karena mereka semua telah kehilangan panutan yang selama ini mereka idolakan dan mereka bangga-bangakan. Beliau wafat diusia 78 tahun.

KH.MAHRUS ALY (LIRBOYO - KEDIRI)



KH.MAHRUS ALY ( Ulama Ahli hadist dan Pejuang )

Pondok Pesantren lirboyo Kediri Jawa Timur


Kh.Mahrus Aly
Salah seorang Tokoh Ulama penerus Pondok Pesantren Lirboyo adalah Kh.Mahrus Aly, putra dari seorang Ulama bernama Kh Aly. Lahir di Cirebon tahun 1906 , ibunya bernama Nyai Chasinah . Sejak kecil Kh Mahrus Aly hidup dalam lingkungan pesantren dan Beliau gemar menuntut ilmu terutama Ilmu Hadist dan Ilmu Nahwu shorof. Usia remaja Kh Mahrus telah hapal 1000 Bait Nadzhom Kitab Alfiyah Ibnu malik dan pernah juga melakukan debat Nahwu shorof dengan seorang Habib dari Yaman Hadro maut. Suatu ketika Kakaknya yang bernama Kh.ahmad Afifi mengadakan lomba hapalan dan pemahaman kitab Alfiyah , namun Kh Mahrus kalah dan merasa malu dengan keluarganya, hingga akhirnya Kh mahrus pergi meninggalkan rumah tanpa minta Izin kepada keluarganya, dan tentu saja membuat sedih sang ibundanya Nyai Chasinah. Maka sepanjang hari ibunya bermunajat kepada Allah agar anaknya Kh.mahrus Aly yang meninggalkan rumah dan keluarganya di jadikan ulama yang alim .
Kh.Mahrus Aly menimba ilmu Pada Kh.Cholil pengasuh pondok pesantren kasingan , begitu memasuki gerbang pondok , Kh.Mahrus Aly di sambut oleh para santri yang telah berbaris , bercampur heran Kh.Mahrus tetap melangkah memasuki pondok , belakangan diketahui bahwa telah tersyiar kabar bahwa dipondok Kasingan akan kedatangan seorang Ahli hadis bernama Mahrus Aly. Sambutan yang luar biasa dari para santri tidak membuat dirinya besar kepala , beliau disamping menimba ilmu kepada Kyai juga mengajar para Santri  maka tak heran bila Kh.Mahrus diangkat menjadi “Lurah Pondok” . Hampir lima tahun menimba ilmu di Pondok Kasingan  kemudian Kh.Mahrus Aly minta Izin kepada gurunya untuk pulang kerumahnya . Ketika sampai dirumahnya di Gedongan Kh.Mahrus Aly lagi lagi mendapat sambutan dari para santri dan keluarganya dengan penuh penghormatan . Mereka para santri kagum akan kecerdasan Kh Mahrus Aly dalam memahami Kitab Alfiyah . Rupanya Allah memberikan Futuh (Pembuka hati & Ilmu ) berkat doa Munajat dan riyadhoh sang Ibu kepada dirinya.
Tak puas dengan bekal ilmu yang dimiliki, Kh Mahrus aly  meminta izin kepada ibunya untuk menimba Imu di Pesantren Lirboyo, Tahun 1936 Kh Mahrus Aly belajar di Lirboyo di bawah asuhan Kh.Abdul karim . Melihat kecerdasan yang dimiliki Kh Mahrus Aly membuat gurunya terkagum kagum dan jatuh hati pada Kh.Mahrus Aly, maka sang Guru meminta kepada Kh Mahrus Aly untuk mau menjadi mantunya. Maka tahun 1938 Kh.Mahrus Aly menikah dengan putri gurunya bernama zainab. Kh Mahrus aly sangat mencintai ilmu maka tak heran Beliau selalu berpindah pindah dari pesantren yang satu kepesantren yang lain , hal ini beliau lakukan sekedar bertabarruk kepada para ulama seperti ke Pondok pesantren tebuireng (Kh.Hasyim asyari), Pondok-Pesantren Watu congol muntilan Magelang(Kh Dalhar) pondok pesantren Langitan tuban dll.
Kh.Mahrus Aly juga dikenal sebagai Ulama pejuang , beliau pernah memimpin para santri Lirboyo untuk Berjihad melawan tentara sekutu di Surabaya. H. Mahfudzseorang Komandan Peta (pembela tanah air ) yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia  itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri lirboyo  dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri lirboyo  diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .
Tepat pada jam 22.00 berangkatlah para santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Aly dan  Mayor H Mahfudz. Sebelum penyerbuan dimulai, seorang santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun  menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor H Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang  lebar. Dalam penyerbuan itu , gema Takbir “Allohuakbar ” berkumandang menambah semangat juang para Santri , aroma Surga dan Mati syahid telah mereka rindukan,  pada  akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang.
Selang beberapa lama, Mayor H.Mahfud melapor kemabli kepada Kh .Mahrus Aly di Lirboyo bahwa Tentara sekutu yang memboncengi Belanda telah merampas kemerdekaan dan Surabaya banjir darah pejuangan . Maka Kh.Mahrus  Aly mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Aly mengintruksikan kepada santri lirboyo untuk berjihad kemabli mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya untuk bergabung dengan Muhahid lainya. Dengan gagah Kh Mahrus Aly berangkat bersama dengan para santri santri Lirboyo untuk berjuang merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Hari senin KH. Mahrus Aly berpulang kerahmatullah, Tanggal 06 Ramadlan 1405 H atau  26 Mei 1985, tepat delapan hari setelah beliau dirawat di rumah sakit di  surabaya. Linangan air mata dari para santri Lirboyo melepas kepergian sang Kyia.

SEJARAH MBAH KHOLIL BANGKALAN


SEJARAH SINGKAT BIOGRAFI KH. MUHAMMAD KHOLIL BANGKALAN

Hari Selasa, 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H atau 1820 M. ‘Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Khalil.

Kiai ‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

K.H. Khalil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

BELAJAR ke PESANTREN

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850–an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan.

Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Khalil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Sebenarnya, bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.

Akan tetapi, Khalil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Khalil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik inulah Khalil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Kemandirian Khalil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Khalil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Khalil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Khalil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Khalil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya, dari situlah Khalil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Khalil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Khalil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Khalil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Khalil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Khalil belajar pada para syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.

Kebiasaan hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Khalil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.

Padahal, sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi). Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Khalil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Kiai Khalil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Kiai Khalil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Kiai Khalil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Khalil lebih dikenal.

GEO SOSIOLOGI POLITIK

Pada masa hidup Kiai Khalil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Kiai Khalil sendiri dikenal luas sebagai ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Kiai Khalil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen(1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Kiai Khalil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah), tetapi, Martin masih ragu, apakah Kiai Khalil penganut Tarekat tersebut atau tidak?

Masa hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Khalil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.

Cara yang kedua, Kiai Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Khalil, malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Khalil untuk di bebaskan saja.

KIPRAHNYA dalam PEMBENTUKAN NU

Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa, Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala Khudzha wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila janahika takhruj baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil kubra.” Pesan Kiai Khalil.

As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.

“Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.

“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.

Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikanJam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.

“Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad.

“Kiai juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.

Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.

Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.

TAREKAT & FIQH

Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh.

Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.

Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.

Di sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil.

Memang, Kiai Khalil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Khalil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Khalil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).

Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiriyaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.

PENINGGALAN

Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Khalil diantaranya:

Pertama, Kiai Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahanBelanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.

Kedua, selain Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.

K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada 1825 (29 Ramadhan 1343 H) dalam usia yang sangat lanjut, 108 tahun.